Minggu, 14 November 2010

Diskresi dan Korupsi

Pendahuluan
Dalam tulisan ini ingin ditunjukan bahwa diskresi bisa menjadi korupsi karena menyimpang dari batasan-batasan diskresi dan dijadikan sebagai sarana untuk memenuhi kebutuhan baik pribadi atau organisasi.
Di dalam pelaksanaan operasional kepolisian diskresi dapat dilakukan secara individual atau birokrasi. Tindakan tersebut terjadi akibat kurang baiknya sistem kontrol dan kendali, kekaburan pemahaman dasar hukum diskresi, kurang memadainya dukungan sarana dan prasarana serta adanya kolusi antara petugas kepolisian dengan pihak tersangka atau pelanggar hukum. Tindakan diskresi menjadi korupsi bila tidak dilakukan untuk keadilan dan untuk kepentingan umum, tetapi dilakukan untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu.

Diskresi merupakan kewenangan polisi untuk mengambil keputusan atau memilih berbagai tindakan dalam menyelesaikan masalah pelanggaran hukum atau perkara pidana yang ditanganinya. Menurut Davis diskresi kepolisian is maybe defined as the capacity of police officers to select from among a number of legal and ilegal courses of action or inaction while performing their duties (Bailey (ed) : 1995: 206). Menurut Irsan (2001) tindakan diskresi dapat dibedakan sbb ; (1) tindakan diskresi yang dilakukan oleh petugas kepolisian secara individu dalam mengambil keputusan tersebut; (2) tindakan diskresi yang beradasar petunjuk atau keputusan atasan atau pimpinanannya.
Tindakan diskresi yang diputuskan oleh petugas operasional di lapangan secara langsung pada saat itu juga dan tanpa meminta petunjuk atau keputusan dari atasannya adalah diskresi yang bersifat individual, sebagai contoh untuk menghindari terjaadinya penumpukan arus lalu lintas di suatu ruas jalan, petugas kepolisian memberi isyarat untuk terus berjalan kepada pengemudi kendaaraan meskipun saat itu lampu pengatur lalu lintas berwarna merah dsb.
Adapun tindakan untuk mengesampingkan perkara, untuk menahan atau tidak melakukan penahanan terhadap tersangka/pelaku pelanggaran hukum atau menghentikan proses penyidikan, bukanlah tindakan diskresi individual petugas kepolisian. Tindakan tersebut merupakan tindakan diskresi birokrasi karena dalam pengambilan keputusan diskresi berdasarkan atau berpedoman pada kebijaksanaan–kebijaksanaan pimpinan dalam organisasi dan hal tersebut telah dijadikan kesepakatan diantara mereka.
Manfaat diskresi dalam penanganan masalah sosial yang terjadi dalam masyarakat antara lain adalah sebagai salah satu cara pembangunan moral petugas kepolisian dan meningkatkan cakrawala intelektual petugas dalam menyiapkan dirinya untuk mengatur orang lain dengan rasa keadilan bukannya dengan kesewenang - wenangan.
Selain pantas untuk dilakukan diskresi juga merupakan hal yang penting bagi pelaksanaan tugas polisi karena : (1) Undang-undang ditulis dalam bahasa yang terlalu umum untuk bisa dijadikan petunjuk pelaksanaan sampai detail bagi petugas dilapangan, (2) Hukum adalah sebagai alat untuk mewujudkan keadilan dan menjaga ketertiban dan tindakan hukum bukanlah satu-satunya jalan untuk mencapai hal tersebut. (3) Pertimbangan sumber daya dan kemampuan dari petugas kepolisian.
James Q Wilson mengemukakan ada empat tipe situasi tindakan diskresi yang mungkin dilaksanakan, yaitu : (1) police-invoked law enforcement, petugas cukup luas alasannya untuk melakukan tindakan diskresi, tetapi kemungkinannya dimodifikasi oleh kebijaksanaan pimpinannya; (2) citizen-invoked law enforcement, diskresi sangat kecil kemungkinan dilaksanakan, karena inisiatornya adalah masyarakat;(3) police-invoked order maintenance, diskresi dan pengendalian pimpinan seimbang (intermidiate), apakah pimpinannya akan memerintahkan take it easy atau more vigorous; dan (4) citizen-invoked order maintenance, pelaksanaan diskresi perlu dilakukan walau umumnya kurang disetujui oleh atasannya (Munro, 1977 ; 5).
Dasar hukum tindakan diskresi
Dasar hukum diskresi bagi petugas kepolisian negara Republik Indonesia (Polri) dalam melaksanakan tugasnya dapat dilihat pada Undang-undang no 2 tahun 2002 tentang kepolisian Negara republik Indinesia, Undang-undang no 8 tahun 1981 tentqng KUHAP.
Undang-undang no 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia :
Pasal 15 Ayat 2 huruf k Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan lainnya berwenang : melaksanakan kewenangan lain yang termasuk dalam lingkup tugas kepolisian;
Pasal 16 Ayat (1) huruf l : Dalam rangka menyelenggarakan tugas dibidang proses pidana, Kepolisian Negara Republik Indonesia berwenang untuk : mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.(ayat 2) Tindakan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf l adalah tindakan penyelidikan dan penyidikan yang dilaksanakan jika memenuhi syarat sebagai berikut :
a.tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum;
b.selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan tindakan tersebut dilakukan;
c.harus patut, masuk akal, dan termasuk dalam lingkungan jabatannya;
d.pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan yang memaksa; dan
e.menghormati hak asasi manusia.
Pasal 18 ayat (1) Untuk kepentingan umum, pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri. Ayat (2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan dalam keadaan yang sangat perlu dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan, serta Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia.
UU no 8 tahun 1981 tentang Kitab undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yang berhubungan dengan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana termasuk penyidikan pelanggaran tindak pidana lalu lintas yang dalam hal ini menunjuk adanya tindakan lain berdasakan hukum yang dapat dipertanggung jawabkan.
Pasal 7 ayat 1j KUHAP, yang memberikan wewenang kepada penyidik yang karena kewajibannya dapat melakukan tindakan apa saja menurut hukum yang bertanggung jawab. Adapun " tidakan lain " ini dibatasi dengan syarat (penjelasan pasal 5 idem pasal 7 KUHAP) :
a.Tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum.
b.Selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan dilakukannya tindakan jabatan;
c.Tindakan itu harus patut dan masuk akal dan termasuk dalam lingkungan jabatanya;
d.Atas pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan memaksa;
e.Menghormati hak asasi manusia (penjelasan pasal 5 ayat (1) huruf a sub 4 dan pasal 7 ayat (1) sub j).
Pasal 16 ayat 1 dan pasal 18 Undang-undang no 2 tahun 2002 pasal 7 ayat 1 sub j KUHAP bila tidak ada pembatasan yang jelas dan tegas, dapat disalah artikan pelaksanaan diskresi yang dapat menjurus pada tindakkan korupsi.
Diskresi dan Korupsi
Penyimpangan diskresi dalam pelaksanaan tugas operasional berupa penyimpangan diskresi aktif dan diskresi pasif. Penyimpangan diskresi aktif adalah keputusan untuk mengambil tindakan kepolisian yang seharusnya tidak dilakukan namun dilakukan oleh petugas kepolisian dengan harapan atau tujuan untuk mendapatkan imbalan yang dapat dilakukan secara langsung atau tidak langsung dan hal tersebut merupakan pemerasan. Sedangkan penyimpangan diskresi pasif adalah keputusan untuk tidak mengambil tindakan yang seharusnya petugas kepolisiaan mengambil tindakan. Hal tersebut dilakukan karena sudah mendapatkan imbalan atau akan mendapat janji dsb dan hal tersebut adalah penyuapan.
Tindakan diskresi dapat dianggap sebagai tindak korupsi apabila mendapatkan atau dijanjikan akan mendapat hadiah ataupun keuntungan yang berupa uang atau pun barang yang berkaitan dengan tugas, jabatan ataupun kewengannya. Menurut Baker dalam saduran Kunarto (1999 : 75) diskresi menjadi korupsi karena adanya (1) Struktur kesempatan dan teknik–teknik pelanggaran peraturan yang menyertainya, (2) Sosialisasi melalui pengalaman pekerjaan, (3) Dorongan dari kelompok sejawat, berupa dukungan kelompok terhadap pelanggaran peraturan tertentu.
Korupsi polisi terjadi karena adanya power atau kekuatan dan kewenangan untuk melakukan tindakan diskresi, namun dalam pelaksanaannya pertanggung jawaban atas tindakan tersebut tidak ada dan juga kontrol dan kendali yang lemah. Menurut Teori dari Klitgard ;1998 deperti yang dikutip Meliala (2000) untuk menjelaskan korupsi polisi tersebut adalah sebagai berikut:
C = P + D - A
C = Corruption, P = Power, D = Discretion, A = Accountability.
Jerimi Pope menyatakan :
Coruption involves behavior on the part of officials in the public sector; whether politician or civil servants, in wich they improperly and unlawfully enrich them selves or those close to them by the misuse of the public power entrusted them (Saputro paulus : 2000). Korupsi polisi dapat diartikan sebagai mis conduct dan merupakan police deviant. Punch mengatakan :
”Police coruption takes place when an officer recieves or is promised significant advantage or reward (1)For doing something that he or she under duty to do anyway, (2)for doing something that he or she is under duty not to do, (3) for exercising a legitimate discretion for improper reasons or ( 4 ) for imploying illegal means to achieve approved goals.”( Bailey ; 1995: 545).
Di samping itu Punch mengelompokan korupsi polisi dalam kutipan Nitibaskara (2000) sabagai berikut :
(1) Straight foward corruption (sesuatu dilaksanakan atau tidak dilaksanakan tergantung pada yang hendak diterima/diperoleh).
(2) Combative (strategic) corruption (memanfaatkan wacana–wacana hukum secara tersamar & secara organisatoris atau secara sosial dapat diterima sebagai suatu hal yang boleh terjadi.
(3) Predatory (strategic) cor (menangkap pelaku untuk di peras atau menggorganisir perbuatan tercela lainnya spt penyuapan).
(4) Cor as prevention justice (untuk mencapai tujuan dan pelaksanaan tugas yg di embannya) sebagai contoh: bohong dibawah sumpah , mengancam saksi, memasang alat bukti pada tersangka.
Masalah dalam pelaksanaan diskresi
Diskresi yang dilakukan dalam menangani berbagai masalah atau pelanggaran hukum tidak ada aturan atau batasan yang jelas sehingga sering menyimpang dari ketentuan atau prinsip dari diskresi.
Masalah dalam pelaksanaan diskresi yang dilakukan oleh polisi adalah : Pertama bersifat individual oleh petugas polisi di lapangan yang menjadi dasar adalah apa yang diketahui atau dimengerti oleh petugas dilapangan yang dianggap benar. Pada pelaksanaannya atau cara penyampaian dilapangan dilakukan berdasarkan kejadian yang hanya pada saat–saat tertentu (emergencies) tanpa pengamatan ataupun penelitian yang mendalam tentang apa yang diputuskannya tersebut. Dan tindakan diskresi ini bahkan dapat berkonotasi negatif pada polisi tersebut. Kedua merupakan kebijaksanaan dari birokrasi yang berlaku dan menjadi pedoman dalam melakukan tindakan diskresi dalam organisasi.
Pelaksanaan hukum secara selektif merupakan bentuk diskresi birokrasi di mana pengambil kebijaksanaan kepolisian menentukan prioritas organisasi kepada para petugas di lapangan. Ditinjau dari segi hukum pidana formal, tindakan Polisi untuk mengesampingkan perkara pidana tidak bisa dibenarkan begitu saja karena sifat hukum pidana yang tak kenal kompromi. Sedangkan alasan-alasan sosiologis yang biasa digunakan dalam praktek, bersifat subjektif dan sangat situasional dan ini memerlukan landasan hukum yang tegas agar terdapat kepastian hukum baik bagi penyidik maupun bagi masyarakat. Ditinjau dari pelaksanaan operasional Kepolisian, tindakan mengesampingkan perkara juga dilakukan, dengan pertimbangan masing-masing perkara itu bisa berbeda-antara satu tempat dengan tempat lain.
Tindakan tersebut di atas dilakukan oleh para petugas kepolisian dapat dikerenakan adanya kekaburan pemahaman hukum yang berkaitan dengan kewenangan diskresi, kebijaksanaan-kebijaksanaan dari para pejabat dalam birokrasi, yang mendukung atau merestui tindakan diskresi dijadikan sebagai sarana untuk memenuhi kebutuhan operasionalnya dan untuk keuntungan pribadi atau kelompok tertentu. Hal tersebut juga dapat diakibatkan kurang baiknya sistem kontrol (pseudo control). Hal lain yang juga mempengaruhi adalah dari masyarakatnya yang kadang enggan untuk menyelesaikan perkaranya dengan jalur hukum.
Hampir di semua negara yang otoriter, gaji pegawai negeri sipil, polisi dan militer amat kecil, yang besar adalah fasilitas dan pendapatan atau tunjangan yang diterima karena jabatan yang didudukinya (Suparlan, 2001). Di dalam organisasi kepolisian berdampak adanya orientasi pada jabatan tertentu yang dianggap basah. Hal lain yang tumbuh dan berkembang adalah sistem yang dispotik.
Penutup
Dalam tulisan ini saya telah mencoba untuk menunjukan tindakan diskresi yang cenderung menjadi korupsi yang dilakukan baik oleh individual petugas kepolisian atau oleh birokrasi yang merupakan tindakan yang saling terkait dan berdasarkan atau berpedoman dari kebijaksanaan–kebijaksanaan pimpinan dalam birokrasi.
Hal tersebut tercermin pada kebijaksanaan-kebijaksanaan baik secara pribadi atau organisasi. Pertimbangan dilakukannya tindakan diskresi oleh petugas dalam menangani berbagai pelanggaran hukum dipengaruhi beberapa faktor antara lain karena kekaburan pemahaman hukum yang menjadi pedoman pelaksanaan diskresi, lemahnya sistem kontrol dan kendali,kurangnya dukungan anggaran untuk operasional, adanya tuntutan atau kewajiban yang harus dipenuhi baik untuk pribadi atau organisasi di samping itu juga kurangnya gaji petugas kepolisian di samping itu dari pihak masyarakatnya yang kadang enggan menyelesaikan masalahnya dengan jalur hukum. Menurut Suparlan 2001 : Lemahnya sistem pengawasan dan pengendalian, Kurangnya gaji, dukungan anggaran untuk operasional yg tidak memadai dan adanya kewajiban untuk memenuhi kebutuhan organisasi/pribadi berdampak pada tindakan diskresi yang dilakukan petugas polisi akan menjurus menjadi korupsi dan social costnya harus dibayar mahal oleh polisi antara lain buruknya citra polisi di mata masyarakat.
Disamping itu birokrasi dalam organisasi Polri merupakan birokrasi Weberian, yaitu semakin tinggi jabatannya semakin besar kewenangannya/kekuasaannya. Semakin rendah hierarkinya semakin kecil pula kewenangannya. Disiplin dalam organisasi Polri adalah sistem bapak, di mana hirarki bawah tidak berani bertindak jika tidak mendapat restu atau perintah dari hierarki atas dan menganggap atasan atau pimpinan sebagai pusat kekuasaan.
Adapun implikasinya dapat dijelaskan sebagai berikut: (1) Pembenahan sistem manajemen Polres yang mendukung terciptanya sistem kompetisi yang fair dan sisten kontrol yang dapat menghilangkan atau mengeliminir terjadinya penyimpangan ; (2) Meningkatkan kemampuan profesional sumber daya manusianya; (3) Membuat standarisasi proses kerja, standarisasi hasil kerja dan standarisasi sumber daya manusianya serta formalisasi tugas yang jelas sehingga siapapun yang menjadi pejabat atau pimpinan, tetap berjalan pada pencapaian tujuan organisasi; (4) Adanya batasan-batasan mengenai tindakan diskresi yang jelas sehingga dapat dijadikan pedoman atau penuntun bagi petugas kepolisian sehingga dalam melaksanakan tugasnya senantiasa berpedoman pada norma-norma hukum dan norma-norma yang berlaku di masyarakat serta etika kepolisian; (5) Adanya sistem Reward and punishment yang jelas dan tegas. Bagi petugas kepolisian yang melakukan pelanggaran khususnya yang berkaitan dengan tindakan korupsi diberikan tindakan sesuai dengan hokum yang berlaku untuk mendidik atau memberi efek jera bagi yang belum melaksanakan tugasnya dengan baik. (ps 29 (1) Polri tunduk pada sistenm peraadilan umum). Dan memberikan penghargaan kepada yang berprestasi, sehingga dapat memberikan motivasi bagi mereka yang telah bekerja dengan baik (6) Menghilangkan kebiasaan atasan atau pimpinan meminta jatah atau setoran dari bawahan ataupun dari masyarakat. Sehingga bagi petugas tingkat bawah dalam bekerja benar-benar mandiri dan memotivasi untuk berprestsi atau bebas dari kewajiban untuk memenuhi kebutuhan pribadi/organisasi sehingga dapat mengurangi atau bahkan menghilangkan rasa takut bila tidak memenuhi selera pimpinan (hilangnya sikap asal bapak senang/ ABS). (7) Perlu adanya lembaga pengawas kinerja dan pembatasan kewenangan kepolisian, yang merupakan lembaga netral dan berada diluar organisasi Polri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar